AFSIR
AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11
TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT
11
(Pemikiran M. Quraish Shihab,
Tantang Ilmu Pengetahuan}
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dalam berbagi
ciri dan sifat salah satu di antaranya bahwa ia merupakan kitab yang
keotentikannya dijamin oleh Allah. Al-Qura.an diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad melalui malikat Jibril tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur memakan
waktu yang cukup lama yaitu waktu Muhammad diangkat menjadi Nabi sampai belau
wafat. Yang berisi petunjuk dan ajaran tantang segala kehidupan.
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allahyang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan
pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi al-Qur’an al-Karim bacaan sempurna lagi mulia.[1][1]
M. Quraish Shihab adalah sosok seorang mufassir Indonesia
cukup terkenal, beliau menafskan al-Qur.an supaya tetap menjadi petunjuk bagi
umat manusia di dunia yang selalu aktual disetiap zaman dan tempat
Al-Qur’an disampaikan kepada kita
secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sebagaimana
telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan
kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang
dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an
merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak
ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
B.
Pembahasan
1.
Biografi M.
Quraish Shihab
Kehadiran Quraish Shihab di Indonesia semakin memperkaya
khasanah keilmuan Islam khususnya dibidang tafsir al-Qur’an. Quraish shihab di
lahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944 M.[2][2]Nama lengkapnya
adalah Muhammad Quraish Shihab berasala dari keturunan Arab yang terpelajar.
Ayahnya Prof. KH. Abdrahman Shihab di pandang sebagai tokoh pendidik yang
memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah dasar di Ujung
Pandang, Shihab menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dan
melanjutkan di SMP di Ujung Pandang hingga kelas 2. Pada tahun 1956 ia
berangkat ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul
Hadits al-Faqihiyah. Khususnya di Jawa, ada cukup berkembang di lingkungan
Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqihiyah tempat Quraish Shihab Nyantri adalah
ahlu al-sunah wa’al- Jama’ah yang dalam paham Islam menganut paham Asyariyah dan Maturidiyah.[3][3]
Pada tahun 1958 di berangkat ke Kairo, Mesir, dan
diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai Quraish Shihab
melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar
pada fakultas ushuludinjurusan Tafsir Hadits dan memperoleh gelar Lc
(S-1) pada tahun 1967, kemudian pada tahun yang sama Quraish Shihab melanjutkan
studinya dengan fakultas yang sama spesialisasi bidang tafsir al-Quran. Dan
pada tahun 1969 meraih gelar MA dengan tesis berjudul al-I’jas al-Tasyri ‘iy
li al-Qur’anul Karim.
Sekembalinya di Ujung Pandang Qurish Shihab di percayakan
untuk menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin
Unjung Pandang , selain itu ia juga di serahi jabatan-jabatan lain baik di
dalam kampus seperti koodinator perguruan tinggi swasta (Wilayah VII) Indonesia Timur, maupun di luar
kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan penelitian
antara lain’“Penerapan kerukuna hidup beragama di Indonesia Timur” pada
tahun (1975) dan Masalah “Wakaf Sulawesi Selatan” pada tahun 1978[4][4]
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan
melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia
hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang
ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul “Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap
Keotentikan Kitab Nazm ad-Durar Karya
al-Biqa’i)”, ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma’a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab
ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum
Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998.
Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai
Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu
ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir
merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo.
Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain,
antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah
PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan
PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi
profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua
Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan
Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur
‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.Di sela-sela
segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di
dalam maupun luar negeri.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab
juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media
televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan
pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas,
rasional, serta moderat.[5][5]
2.
Metode
Penafsiran al-Qur’an
a. Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir
al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[6][6] Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak
terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya
seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.[7][7]
b. Metode Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy
(Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk
tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang
jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk
tafsir.[8][8] Yaitu: Al-Tafsir
bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi,
At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
c. Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian metode muqarin[9][9](komparatif)
dapat dirangkum sebagai berikut :
1)
Membandingkan teks (nash)[10][10] ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki
redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
2)
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits[11][11] Nabi SAW, yang pada lahirnya
terlihat bertentangan;
d. Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode
mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab
al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.[13][13]
3.
penafsiran
al-Qur’an Sura Al-Mujadala ayat 11 (al-Misbah)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ
تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ
انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Terjemahnya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Larangan berbisik yang
diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna
membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang lain
mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan tuntunan
akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin harmonisasi dalam
satu majelis.Allah berfirman “ Hai orang-0rang yang beriman, apa bila
dikatakan kepada kamu” oleh siapa pun: berlapang-lapanglah[14][14]. Yaitu berupayalah dengan
sungguh-sungguh walau dengan memaksakan
diri untuk memberi tempat orang lain dalam majlis-majlis yakni
satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan tempat duduk, apabila diminta
kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat untuk orang
lain itu dengan suka rela. Jika kamu
melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat
kamu dalam hidup ini. Dan apabila di katakan:”Berdirilah kamu
ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih wajar,
atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka
berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antara kamuwahai yang memperkenankan tuntunan ini.dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat kemudian di dunia dan
di akhirat dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan
masa akan datang Maha Mengetahui.[15][15]
Ada riwayat yang
menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jum’at. Ketika itu Rasul saw.
berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi
tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena
besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di
antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw.
Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga
dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja
berdiri, maka Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain-yang
tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat
yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. perintah Nabi itu, mengecilkan hati
mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk
memecah belah dengan berkata “katanya muhammad berlaku adil, tetapi ternyata
tidak.” Nabi mendengar keritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang
memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan
ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Kata tafassaḫû dan ifsaḫû
terambil dari kata fasaḫa yakni lapang. Sedang kata unsyuzû
terambil dari kata nûsyuzyankni tempat
yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat
yang lebih tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi
kesempatan yang lebih wajar duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau
bangkit melakukan suatu aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari
rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi
saw. Yang lain dari yang perlu segera dia hadapi.
Kata majȃlis adalah
bentuk jamak dari kata majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk.
Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad saw. Membert tuntunan agama
ketika itu. Tapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara
mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena
tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta
mengalah kepada orang-orang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim
sekalipun, jika anda-wahai yang muda-duduk di bus, atau kereta, sedang dia
tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri
untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak
menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan
derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat[16][16] yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan[17][17] itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang didmilikinya itulah yang berperanan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu saja yang di maksud
dengan alladzȋnaûtû al-‘ilmu/yang diberi pengetahuan[18][18] adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan.
Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang
pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan beramal
shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih
tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal
pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan
keteladanan.
Ilmu yang di maksud ayat
di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS.
35: ayat 27-28. Allah meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena alam,
lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada
Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam
pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa
ilmu haruslah menghasilkan khasyyah[19][19]yahni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong
yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untu kepentingan
mahkluk, Rasul sering kali berdo’a (aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat).
4.
Hubungan al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan
al-Qur’an adalah kitab
petunjuk demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejrah turunnya.
Jika demikian apakah hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
a.
Ciri khas ilmu pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu
pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari-meskipun oleh para
ilmuan –adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah di
masa silam mislanya dapat diakui kebenarannya di abad modern.[20][20]
Persolan ilmiah silih
berganti, bukan saja dalam lapangan pembhasan satu ilmu saja, tetapi juga dalam
teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu persolan moral tidak
mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata nuklir, misalnya
tidak dapat dipisahkan dari pesolan tersebut; mereka tidak mengabaikan persolan
moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan dari hasil kemajuan ilmu
pengetahuan.[21][21]
Teori bumi datar yang
merupakan satu hukum aksioma disatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi
bulat yang kemudian dibatalkan oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur.
Mungkin tidak sedikit orang yang yakin bahwa pertimbangan logila atau ilmiah terutama menurut ilmu
pasti adalah benar sedangkan keadaannya belum tentu demikian.[22][22]
b.
Al-Qur’an di tengah perkembangan ilmu
Sebelum berbicara tentang
masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang
dimaksud dalam tulisan ini.Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam
berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.ara lain sebagai “peroses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” (QS. 2:31-32). Pembicaraan
tentang ilmu mengantarkan kita kepada
pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam
disiplannya.[23][23]
Berbeda dengan klasifikasi
ilmu yang digunakan oleh para filosof muslim atau non-muslim pada masa-masa
silam, atau klasifikasi belakangan ini di kenal seperti antara lain, ilmu-ilmu
sosial, maka pemikiran Islam pada abad XX, khususnya setelah seminar
internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 M, pengklasifikasian
ilmu menjadi dua kategori :
1.
Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang
tertera dalam al-Qur’an dan hadis serta segala yang yang dapat diambil dari
keduanya.
2.
Ilmu yang dicari (acquired knowledge)termasuk sains ke alaman dan
terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggadaan, variasi
terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah
sebagai sumber nilai.[24][24].
Dewasa ini diakaui oleh
ahli-ahli sejarah dan filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk
dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya di tentukan oleh pandangan terhadap
realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal
ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah materi
Alam.[25][25]
c.
Korelasi antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
Membahas hubungan antara
al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya
cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama
adalah melihat: adalah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu
pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur
melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode
yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial
yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupu negatif) terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan.[26][26]
Dalam al-Qur’an ditemukan
kata-kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Di
samping itu banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan
akal, pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana yang dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hamatan ilmu
pengetahuan. Antara lain[27][27]:
1.
Sujektivitas: (a) suka tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b)
taqdid atau mengikuti tanpaalasan, (baca antara lain, QS 36:67; 2:170).
2.
Angan-angan dan dugaaanyang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
3.
Bergegas gegas dalam mengambil atau kesimpulan (baca antara lain, QS
21:37).
4.
Sikap angkuh (enggang untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara
lain, QS 7:146),
Di sampin itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain;[28][28]
1.
Jangan bersikap terhadap sesuatu tampa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam
arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk
persoalan (baca antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan
(baca antara lain QS 10:39).
2.
Jangan menilai sesuatu karena faktor ekstren apapun-walaupun dalam pribadi
tokoh yang diagungkan seperti Nabi Muhammad s.a.w.
Ayat macam inilah yang
mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan
ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. Korelasi kedua dapat
ditemukan pada iyarat-isyarat ilmiah yang tersebar sekian banyak ayat al-Qur’an
yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya.
C.
Penutup
Dalam menghadapkan pemikiran yang melandasi segenap
segala usaha dalam lingkup ilmu pengetahuan atau sain serta berbagai konsepnya,
pada jaran agama Islam, khususnya yang terkandung dalam al-Qur’an.
Petunjuk ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa
sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup di bumi ini, manusia harus
menguasai ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Sebagai
penguasa, manusia boleh memanfaatkan alam dan sekelilingnya bagi kelangsungan
hidupnya. Namun tidak boleh merusaknya; iya bertanggungjawab atas
pelestariannya.
hubungan antara al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu
pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah
al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya,
karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang
diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya,
tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan
Daftar Pustaka
al-Farmawi, Abd
al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah
Mawdhu’iyyah, 1977
Mustafa, Quraish Shihab Membumikan
kalam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010,
Shihab, M.
Quraish. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus,
1999.
---------------------,Tafsir
Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta:
Lentera Hati. 2006
---------------------,Wawasan
Al-Qur’an, (Tafsir
Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, 2007,
--------------------,Membumikan
al-Qur’an, Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung:
Mizan, 1994.
http://tafsiralmishbah.wordpress.com/biografi-m-quraish-shihab/ diunggah pada
tanggal 23 Desember 20112
[1][1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
(Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Bandung: Mizan, 2007, hlm. 1.
[2][2]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994,
hlm, .6
[3][3]Mustafa, Quraish Shihab Membumikan
kalam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm., 64
[5][5]http://tafsiralmishbah.wordpress.com/biografi-m-quraish-shihab/diunggah pada tanggal 23 Desember 20112
[6][6]Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43 – 44
[9][9]M. Quraish
Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus,
1999. hlm. 186-192.
[10][10]Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih
masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda
dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan
macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
[11][11]Mufasir membandingkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan
mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya
[12][12]Mufasir
membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir
al-ma’tsur)maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
[14][14]Berlapang-lapanglah
kita dalam suatu pertemuan/majelis dengan memberikan tempat kepada saudara-saudara kita
yang baru datang
[15][15]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume XIV, Jakarta: Lentera Hati.
2006 . hlm., 77
[16][16]Darajāt (beberapa derajat), yakni beberapa
keutamaan di dalam surga, mengungguli derajat orang-orang yang diberi iman
tanpa ilmu. Sebab seorang Mukmin yang berilmu lebih utama daripada orang Mukmin
yang tak berilmu.
[17][17] Kemerdekaan manusia tercermin dari
kepemilikan akalnya. Manusia diberikan oleh Allah sebuah akal untuk memilah dan
memilih mana yang benar di antara yang salah. Maka Islampun menyeru kepada kita
untuk terus mengasah akal pikiran kita. Tentu saja caranya dengan belajar,
dimana belajar di dalam Islam merupakan sebuah kewajiban individu.
[18][18]Kata ilmu
dalam bahasa Arab "ilm" yang
berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya,
ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial
dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
[19][19]kata Khawf
dan Khasyyah dalam bahasa memiliki makna yang sama hanya saja para ulama
mengkhususkan penggunaan khasyyah untuk para ulama sedangkan khawf demikian
juga huzn jauh dari menimpa mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar