LAPORAN
PRAKTIKUM KJT
INDUKSI KALUS
(DAUN SAWI DAN KOTILEDON KEDELAI)
(DAUN SAWI DAN KOTILEDON KEDELAI)
Disusun
Oleh :
Nama : HIRMAN
NIM : 10640005
KLPK : II
Asisten : Maidatun
Nafi’ah, S.Si
LABORATORIUM
TERPADU
PROGRAM
STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
INDUKSI KALUS
(DAUN SAWI DAN KOTILEDON KEDELAI)
(DAUN SAWI DAN KOTILEDON KEDELAI)
I. TUJUAN
1.1. Mengamati respon kultur jaringan daun dan hipokotil
sawi (Brassica sp) dan kotiledone kedelai terhadap kombinasi zat
pengatur tumbuh
1.2. Mengamati
pembentukan kalus pada daun dan hipokotil Brassica sp dan kotiledone
kedelai.
II. DASAR TEORI
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan maupun
organ , serta menumbuhkannya dalam keadaan aseptik, sehingga bagian-bagian
tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Konsep awal dari kultur jarngan
adalah diketahuinya kemempuan totipotensi dari sel tumbuhan. Totipotensi sel
(Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti
zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman
lengkap.
Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan
cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan
zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian
tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif
tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Teknik
kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan
tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman (Iswanto,2002).
Lingkungan aseptic
sebagai salah satu syarat utama suksesnya kegiatan kultur jaringan perlu
diterapkan dengan sungguh-sungguh. Untuk itu perlu adanya usaha sterilisasi
peralatan yang akan digunakan dalam proses kultur.
a.
Sterilisasi Ruang
Bagian
dalam laminar air flow disemprot
dengan alkohol 70%. Kemudian lampu ultraviolet (UV) dinyalakan selama 1 jam.
Saat akan digunakan, lampu neon dan kipas dinyalakan (Zulkarnain, 2009).
b.
Sterilisasi Alat
Alat-alat
dissecting set dan glass ware yang akan digunakan dicuci
terlebih dahulu dan dikeringkan kemudian dibungkus dengan kertas payung,
sedangkan mulut botol ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya alat-alat disterilisasi
di dalam autoclaf dengan suhu 121°C selama 15 menit. Proses inokulasi eksplan,
alat-alat dissecting set disterilisasi
dengan alkohol 96% dan dibakar dengan nyala api spiritus setiap kali akan
digunakan di laminar air flow (Santoso,
2003)
c.
Sterilisasi Media
Media
yang digunakan adalah media Murashige and Skoog atau MS (lampiran 1) di
masukkan ke dalam botol kultur dan disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu
1210C selama 15 menit (Suryowinoto, 1996).
d.
Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi
permukaan eksplan daun terdiri dari 2 tahap sterilisasi yaitu sterilisasi tahap
I yang dilakukan di ruang persiapan dan sterilisasi tahap II yang dilakukan di laminar air flow. Sterilisasi tahap I
meliputi: Daun tembakau muda (daun ketiga sampai kelima dari pucuk) diambil
dari green house dibilas dengan
air mengalir hingga bersih. Sedangkan sterilisasi tahap II dilakukan setelah
sterilisasi tahap I, meliputi: Daun direndam dalam larutan etanol 70% selama 25
detik, kemudian dibilas dengan aquades steril selama 5 menit, Kemudian dibilas
dengan aquades steril selama 5 menit sebanyak 3 kali. Selanjutnya eksplan
diambil dengan pinset dan ditiriskan pada cawan petri yang berisi kertas saring
(George,1993).
Ada beberapa jenis ZPT yang
digunakan dalam kultur jaringan tanaman, namun efisiensi dan efektivitasnya
berbeda terhadap jenis tanaman yang berbeda. Sebagai contoh, kinetin sangat
efektif untuk kultur buku batang), sementara sitokinin konsentrasi rendah dapat
memacu perkembangan tunas sedangkan konsentrasi tinggi merangsang penggandaan
tunas. Auksin pada konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan akar dan pada
konsentrasi tinggi dapat merangsang pertumbuhan kalus. Dengan demikian,
pengaturan zat pengatur tumbuh di dalam media sangat menentukan terhadap
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan kultur. Dalam perbanyakan tanaman
dibutuhkan pemilihan perbandingan konsentrasi auksin, sitokinin dan suplemen
yang tepat, karena hal ini akan menentukan dalam derajat keberhasilan
pembentukan tanaman baru (Nurwahyuni dan Elimasni,2006).
Kultur jaringan merupakan suatu teknik isolasi bagian
tanaman, seperti jaringan, organ atau embrio, lalu dikultur pada medium buatan
yang steril sehingga bagian tanaman tersebut mampu bergenerasi dan
berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987 dalam Zulkarnain,
2009). Metode kultur jaringan dapat
menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat, dimana tidak bergantung pada musim. Keunggulan lain dari kultur jaringan
yaitu memperoleh sifat fisiologi Kultur Jaringan Tembakau dan morfologi sama persis dengan tanaman
induknya (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sehingga penyediaan bibit akan selalu
terpenuhi dan bibit yang akan disebar ke masyarakat bersifat persis dengan
tanaman induknya (Desriatin, 2004)
Teknik kultur jaringan tumbuhan
atau kultur in vitro dapat
dijadikan sebagai alternatif pemecahan masalah bagi perbanyakan bibit dan
perolehan metabolit sekunder dari tanaman ini. Teknik ini dapat menghasilkan
metabolit sekunder dalam jaringan tanaman dan juga dalam sel-sel yang
dipelihara pada media buatan secara aseptik (Fitriani, 2003). Metabolit
sekunder bisa diperoleh melalui kultur kalus. Metabolit yang dihasilkan dari
kalus sering kali kadarnya lebih tinggi dari pada metabolit yang diambil
langsung dari tanamannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan kalus adalah dengan menambahkan pra zat ke dalam
media. Media kultur jaringan tumbuhan berisi garam-garam mineral, hormon,
vitamin, sumber karbon, dan asam amino. Smith (1992) menyatakan pemilihan media
kultur jaringan merupakan kunci sukses dalam kultur jaringan. Hal ini
menyebabkan banyak diadakan penelitian untuk memodifikasi media-media yang
memberikan respon berbeda terhadap berbagai macam tanaman (Sitorus, et al.,2011).
III. METODE
3.1.
Alat
dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu
Petridisk steril, Pinset, Gelas beacker, Scalpel dan Lampu Bunsen. Sedangkan
bahan yang digunakan yaitu Daun sawi, Hipokotil Alkohol 70 %, Akuades dan Medium
kultur + ZPT.
3.2.
Cara Kerja
3.2.1. Disiapkan
medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh yang dikombinasikan (BA, NAA, 2,4 D)
3.2.2. Alat
dan bahan steril serta media disiapkan diruang LAF
3.2.3. Eksplan
daun dan hipokotil sawi steril serta kotiledone kedelai diambil dari botol
3.2.4. Dipilih
daun dan kotiledone yang bagus dan semua sisi daun sawi di lukai
3.2.5. Daun
dan hipokotil serta kotiledone yang sudah dilukai, ditanam pada media yang
sudah disediakan
3.2.6. Setelah
ditanam, botol ditutup dengan aluminium foil dan ujung botol dibungkus dengan
scapel
3.2.7. Diamati
perubahan yang terjadi pada eksplant setiap hari ke 0, 5, 10, 15 dan 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Tabel 1. Induksi kalus pada daun sawi
hari ke-5
No.
|
Kalus
|
Jamur
|
Bakteri
|
Browning
|
keterangan
|
||
Warna
|
Tekstur
|
||||||
1
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
|
C
|
Bening
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
|
|
2
|
A
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
3
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
+
|
-
|
-
|
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
4
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
Belum kontam
|
B
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
Belum
kontam
|
|
C
|
putih
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
Belum
kontam
|
|
5
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
C
|
Bening
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
|
6
|
A
|
Hijau
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Bening
|
Kompak
|
+
|
-
|
-
|
kontam
|
|
C
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
7
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun
membentang
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun
membentang
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun
membentang
|
|
8
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
9
|
A
|
|
|
|
|
|
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun
membentang
|
|
C
|
Hijau
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
Daun
membentang
|
|
10
|
A
|
|
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
|
Tabel 2. Induksi kalus pada daun sawi
hari ke-10
No.
|
Kalus
|
Jamur
|
Bakteri
|
Browning
|
keterangan
|
||
Warna
|
Tekstur
|
||||||
1
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
|
C
|
Bening
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
|
|
2
|
A
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
3
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
+
|
-
|
-
|
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
4
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium
kontam
|
B
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium kontam
|
|
C
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium kontam
|
|
5
|
A
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
B
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
|
C
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
|
6
|
A
|
Hijau
|
Padat
|
+
|
-
|
-
|
Kontam
|
B
|
Hijau
muda
|
Kompak
|
+
|
-
|
-
|
Kontam
|
|
C
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
7
|
A
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
stagnan
|
|
8
|
A
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
-
|
|
9
|
A
|
-
|
-
|
|
|
|
Daun
membentang
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun
menggulung
|
|
C
|
Hijau
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
10
|
A
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
Tabel 3. Induksi kalus pada daun sawi
hari ke-15
No.
|
Kalus
|
Jamur
|
Bakteri
|
Browning
|
keterangan
|
||
Warna
|
Tekstur
|
||||||
1
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Stagnan
|
|
C
|
Bening
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
|
|
2
|
A
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Medium
kontam jamur
|
|
3
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
+
|
-
|
-
|
|
B
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
C
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Daun
membentang, stagnan
|
|
4
|
A
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium
kontam
|
B
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium kontam
|
|
C
|
Putih
|
Kompak
|
-
|
+
|
-
|
Medium kontam
|
|
5
|
A
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
B
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
|
C
|
Bening
hijau
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
|
|
6
|
A
|
Hijau
|
Padat
|
+
|
-
|
-
|
Kontam
|
B
|
Kuning
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
Kontam
|
|
C
|
Hijau
muda
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
7
|
A
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
stagnan
|
|
8
|
A
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
muda
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
-
|
|
9
|
A
|
-
|
-
|
|
|
|
Daun
membentang
|
B
|
Hijau
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
Hijau
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
10
|
A
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
B
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
C
|
Hijau
tua
|
Kompak
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
Tabel 4. Induksi kalus pada kotiledon
kedelai hari ke 5 sampai hari ke-20
No.
|
Kalus
|
Jamur
|
Bakteri
|
Browning
|
keterangan
|
||
Warna
|
Tekstur
|
||||||
1
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
Bening
|
Padat
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
2
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
No
kontam
|
|
3
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
4
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
5
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
6
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
7
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
8
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
9
|
A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
|
C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
No
kontam
|
4.2.
PEMBAHASAN
Pembentukan
kalus diawali dengan terjadinya pembengkakan pada permukaan eksplan. Pembengkakan
ini disusul dengan terbentuknya kalus pada pinggir daun atau bigagian tulang
daun, karena pertulangan daun merupakan daerah penyalur makanan ke seluruh
bagian permukaan daun sehingga sel yang terdapat dekat pertulangan daun dapat
membelah dan membentuk kalus (Lizawati et al. 2012). Proses terjadinya
disebabkan adanya rangsangan luka, rangsangan tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan pada dinding sel berubah arah, sebagian protoplas mengalir
keluar sehingga mulai terbentu kalus. Terbentuknya kalus juga disebabkan
sel-sel kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya
aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka (Suryowinoto. 1996).
Dalam
praktikum ini menggunakan eksplan daun sawi dan kotiledon dari kedelai. Hal ini
dimaksudkan untuk membandingkan hasil induksi antara costae yang memiliki
kambium dan jaringan meristematis dengan lamina yang mengandung klorofil dan
dapat membentuk kalus pada daun. Sebelum dilakukan sterilisasi dilakukan tahap
pre sterilisasi, yaitu pencucian dengan menggunakan sabun cair. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kotoran pada daun dan kotiledon. Kemudian dicucui
kembali dengan alkohol 70% yang sebagai dehidrator.
Hasil
pengamatan selama 20 hari pada eksplan daun sawi menunjukkan bahwa, secara umum
mengalami perubahan pada hari ke-5. Dari segi warna kalusnya ada yang bening,
hijau muda, putih dan hijau. Sedangkan teksturnya yaitu kompak dan padat,
eksplan juga membentang. Pada hari tersebut juga terdapat ekspaln yang
terkontaminasi oleh jamur. Namun ada 2 botol yang mengalami browning (pencoklatan), terkontaminasi
jamur terdapat 7 botol dan terkontaminasi oleh bakteri terdapat 3 botol
eksplan. Namun beberapa botol eksplan juga belum menunjukkan
pertumbuhannya.Sehingga pertumbuhannya ada yang stagnan. Pada hari ke-10, warna
kalus dan teksturnya masih sama ketika hari ke-5 namun jumlah eksplan yang
tumbuh semakin banyak. Begitu pula pada hari ke-15 sampai hari ke-20 hasil
menunjukkan hal yang sama, jika ada perubahan baik dari segi warna, tekstur
kalus pada tiap botol eksplan tidak jauh beda saat hari sebelumnya.
Hasil
pengamatan pada kotiledon kedelai selama 20 hari yaitu warna dan teksturnya
bening dan padat. Hasil yang didapat pada eksplan ini kurang memuaskan karena
hampir semua eksplannya tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kalus. Sebaliknya
semua eksplan justru mengalami browning.
.
Perbandingan kecepatan kalus yang tumbuh, pada eksplan daun sawi kalus lebih
cepat tumbuh dari pada eksplan kotiledon kedelai. Hal ini dapat dikarenakan
untuk kedelai lebih lama proses nutrisi yang masuk atau karena eksplan yang
digunakan kualitasnya kurang bagus. Beberapa eksplan tidak dapat membentuk
kalus, hal ini dikarenakan karena adanya perbedaan kemampuan jaringan menyerap
unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media induksi kalus tersebut Selain
itu eksplan yang tidak membentuk kalus mengalami perubahan warna dari hijau
menjadi coklat kemudian mati. Hal ini dapat disebabkan karena timbulnya senyawa
fenolik yang keluar dari eksplan tersebut (Lizawati et al. 2012). Asam-asam
fenolik bersama dengan asam absisat (ABA) merupakan inhibitor endogen yang
menghambat terbentuknya kalus (Wattimena. 1988).
Pencoklatan
jaringan terjadi melaui aktivitas enzim oksidasi (mengandung Cu) seperti
polifenoloksidase yang dibebaskan atau disintesis dalam kondisi oksidatif
ketika ekspaln terluka. Sunstrat untuk enzim ini bervariasi namun secara umum
berupa o-hidroksifenol. Enzim dan substarnya biasanya berada dalam lokasi yang
berbeda didalam sel, dan bercampur ketika sel terluka (George dan Sherrington.
1986). Toksisitas fenol disebabkan karena senyawa ini membentuk ikatan hidrogen
dengan protein yang irreversibel. Penghambat pertumbuhan yang tidak dapat
diperbaiki lagi, terjadi ketika fenol teroksidasi enjadi senyawa kuinon yang
amat aktif. Senyawa ini lalu mensiklase, polimerse dan mengoksidasi protein
untuk membentuk senyawa melanin, penyebab warna hitam (Wijayani. 1993).
Hal
yang dapat mencegah browning dengan menghilangkan senyawa fenolik, memodifikasi
potensial redoks, menginaktifkan enzim fenooksidase, serta dengan mnegurangi
aktivitas fenol (Daisy. 1994). Fenol sering dikonotasikan sebagai zat
penghambatyang harus dihilangkan dari kultur in vitro. Berbagaimetode
untuk menghindari pembentukan fenoltelah dilakukan, dan yang paling umum adalah
denganmentransfer eksplan ke media baru. Tetapi peningkatanjumlah subkultur
seringkali menyebabkanakumulasi mutasi sel-sel dan menyebabkan hilangnyasel
yang efektif untuk membentuk embriogenesis. Penambahanarang aktif ke dalam
media kultur seringkalidapat menghindari pembentukan inhibitor fenolat(Hutami
2006). Arang aktif menghilangkan pewarnaandengan menyerap dan mengoksidasi
fenol dan menginaktifkanperoksidase. Arang aktif juga dapat menyerap eksudasi
beracun dan menyerap adanya inhibitor pertumbuhan seperti senyawa fenolik.
Arang aktif bersifat sebagai adsorben karena mempunyai pori-pori yang banyak
dan permukaan yang luas, sehingga mampu menyerap berbagai zat beracun. Arang
aktif mengurangi pencoklatanpada eksplan palem dan kultur media(Tisserat 1979),
sehingga memacu eksplan untuk tumbuhsecara organogenesis.
Kecenderungan
senyawa menjadi teroksidasi atau tereduksi tergantung pada oksidasi-reduksi
(redoks) potensial dari suatu larutan. Senyawa pereduksi yang redoks
potensialnya rendah seperti asam askorbat sangat efektif untuk menghindari
pencoklatan dari isolasi jaringan tanaman atau ekstrak tanaman dan sering
diasumsikan bahwa hal tersebut menghambat oksidasi fenol (George dan
Sherrington 1984). Oksigen yang tidak larut meningkatkan redoks potensial
larutan dan menyebabkan oksidasi lebih cepat. Reduksi sementara dengan
mengisolasi eksplan segar pada oksigen dapat membantu menghindari terjadinya
pencoklatan (Sri Hutami. 2008).
Senyawa
penkhelat atau pengikat selain mempunyai kemampuan mengikat unsur/senyawa lain
juga dapat mengganggu aktivitas enzim peroksida (Weinstein etal. 1951 dalam
George dan Sherrington 1984) menemukan bahwa EDTA dapat menghambat
aktivitas polifenol oksidase pada daun bunga matahari yang dikulturkan secara in
vitro, dan disimpulkan bahwa senyawa khelat menghilangkan metal esensial
untuk aktivitas enzim oksidase. NaFeEDTA dan EDTA keduanya dapat menghilangkan
penghitaman pada tunas pucuk Carex dan Simth (1968) menyatakan bahwa hal
tersebut terjadi karena pengikatan tembaga yang dibutuhkan dalam pembentukan
enzim fenolase, ketika dia menemukan bahwa agen pengikat/penkhelat dapat
melindungi pencoklatan dari isolat segar tunas pucuk dari Carex flacca.
Beberapa reaksi oksidatif juga dikatalisir secara biokimia oleh ion-ion seperti
Cu++, Co++, dan Zn++.
Tingkat oksidasi fenol dapat dikurangi dengan
pengurangan aktivitas enzim spesifik atau pengurangan substrat untuk oksidasi.
Aktivitas oksidasi polifenol tertinggi pada pH 6,5 dan menurun pada pH lebih
rendah (Ichihashi dan Kako 1977 dalam George dan Sherrington 1984).
Perendaman eksplan pada campuran asam askorbat dan asam sitrat tidak hanya
mengekspose eksplan pada senyawa reduksi tetapi juga pada pH rendah. Huang etal.
(2002) melaporkan bahwa aktivitas PPO sejajar dengan pencoklatan eksplan pada
bambu. Pencoklatan tertinggi diperoleh dari medium dengan pH 8, di mana pH
tersebut konsisten dengan pH optimum enzim pada bambu. Stabilitas PPO tertinggi
pada bambu pada pH 10.
V. KESIMPULAN
1. Induksi
kalus pada dun sawi dan kotiledon kedelai dilakukan pada medium MS 0 dan MS
2,4-D.
2. Induksi
kalus lebih efektif pada bagian daun dibandingkan pada bagian kecambah atau
kotiledon. Kontaminasi lebih banyak terjadi pada eksplan daun sawi.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Daisy.
1994. Budidaya Jaringan Bawang Putih
(Allium sativum L.)
George, E.F. and P.D. Sherrington 1984. Plant Propagation by Tissue
Culture. Hand Book and Directory of Comercial Laboratories.
Eastern Press, Reading, Berks.England. p. 9-449
Hendaryono dan Ari
wijayani. 2012. Teknik Kultur Jaringan
Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern.
Penerbit Kanisius: Yogyakarta
Huang, L.C., Y.L. Lee, B.L. Huang, C.I. Kuo, and
J.F.Shaw. 2002. High
Polyphenol Oxidase Activity And LowTitratable Acidity In Browning Bamboo Tissue
Culture. InVitro Cell. Dev. Biol. Plant
Hutami, S. 2006. Penggunaan
Arang Aktif Dalam Kultur InVitro.
Berita Biologi
Iswanto, H. 2002. Petunjuk Perawatan Anggrek. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Lizawati,
Neliyati dan Retna Deasfira. 2012. Induksi
Kalus Eksplan Daun Durian (Durio Zebethinus Murr. cv. Selat Jambi) Pada
Beberapa Kombinasi 2,4-D dan BAP
Luri,
Sepdian. 2009. Kultur Kalus.
Suryowinoto.
1996. Budidaya Jaringan dan Manfaatnya.
Fakultas Biologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
LAMPIRAN
Gambar 1. Kalus Daun Sawi |
Gambar 2. Kalus Membentang |
Gambar 3. Kalus Pada kotiledon kedelai |